ping fast  my blog, website, or RSS feed for Free Pendidikan, Proses Budaya Sepanjang Hayat | BERBAGI KODE BLOG

Pendidikan, Proses Budaya Sepanjang Hayat

Pendidikan
Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidika yang dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia" 
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan,maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut ; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara merumuskan hakikat pendidikan adalah sebagai usaha orang tua bagi anak dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan ruhani dan jasmani pada anak. Dalam pemaknaan pendidikan, Ki Hajar Dewantara lebih menekankan pada peran orang tua terhadap anak untuk mencapai pendidikan yang sifatnya ruhani dan jasmani. Peran orang tua sangat dibutuhkan untuk mendidik anak secara intens dan teliti. Hal ini sangat berdeda jauh ketika kita menghadirkan seorang ahli pendidikan yang berasa bari Brasil yaitu Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan. Jika kita simpulkan satu persatu dari definisi pendidikan diatas, terlihat dimensi yang berbeda antar definisi. Namun demikian, dari keragaman perbedaan tersebut, ada titik kesamaan yang dapat dianggap sebagai titik temu. Setidaknya titik temu itu diwakili oleh aspek proses menuju kedewasaan dan memanusiakan manusia. Diluar dimensi ini, memang ada kesamaan dan ada juga perbedaan antara satu pendapat dengan pendapat yang lainnya. Keragaman ini merupakan kewajaran dan tidak perlu diperdebatkan, sebab secara subtansial terdapat titik temu dari beragam definisi yang ada. Dari pemaparan yang ada, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia untuk mempelajari, memahami, menguasai dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama bagi individu, masyarakat, bagsa dan negara. Kesepakatan itu yang akan menimbulkan rasa kebersamaan dalam mengelola pendidikan secara intensif dan terarah. 
Henry A Giroux dalam Border Crossings: Cultural Workers and the Politics of Education (1993) mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik-praktik buruk pendidikan yang memuja efisiensi ekonomis. Terjadi degradasi identitas institusi pendidikan dari institusi yang menyelenggarakan pendidikan publik menjadi pabrik kuli. Banyak institusi pendidikan yang memeluk efisiensi ekonomis banting setir menjadi perusahaan penyedia birokrat elite masyarakat dan kuli kerja.
Giroux mensinyalir bahwa reduksi dan penyempitan hakikat pendidikan ini terjadi karena tiadanya atau minimnya filsafat pendidikan. Akibatnya, institusi pendidikan gagal melihat kemungkinan bahwa proses pembelajaran menjadi salah satu pilar utama dalam humanisasi hidup publik.
Pendidikan radikal atau kritis dibangun di atas pigura filsafat pedagogis yang jelas. Pendidikan mengusahakan pembentukan individu dan masyarakat sebagai subyek- subyek humanis-liberatif. Profesi pendidik itu bermartabat agung karena mereka senantiasa menjaga dan mengembangkan intelektualitas transformatifnya. Mereka tidak membiarkan kecurangan, kekerasan, dan praktik-praktik tak manusiawi lainnya karena tindakan-tindakan itu melecehkan etika profesi mereka.
Henry A Giroux menyadari bahwa pendidikan berada dalam pusaran logika pasar dan jargon kekuasaan. Insitusi pendidikan sering terseret dalam pusaran-pusaran ini dan berubah menjadi mesin yang mencetak tukang atau kuli ekonomi. Pendidik memiliki posisi sentral dalam situasi ini. Giroux mengingatkan para pendidik akan identitas mereka sebagai intelektual transformatif dalam pembelajaran siswa didik. Menyitir John Dewey berkaitan dengan distingsi antara "education as a function of society" dan "society as a function of education," Giroux mendambakan figur pendidik yang mengantar siswa didik untuk memiliki pengetahuan,
karakter, dan visi etis yang membangun ruang publik. Mereka dipanggil untuk membentuk pelaku-pelaku pembelajaran yang memiliki intelektualitas transformatif. Pendidikan radikal atau kritis mensyaratkan intelektualitas transformatif.
Mengembangkan gagasan Giroux untuk konteks Indonesia, Paul Suparno dalam Guru Demokratis di Era Reformasi (2005) juga prihatin terhadap reduksi profesi pendidik sebagai tukang transfer pengetahuan.
Guru sebagai tukang pendidikan melecehkan intelektualitas karena mencekoki siswa didik dengan pengetahuan basi. Mereka mereduksi pembelajaran sebagai perburuan gelar akademik atau sertifikat kelulusan. Mereka pasif terhadap pembaruan kurikulum pendidikan berbasis konteks siswa didik dan masyarakat. Mereka tak segan-segan mengorupsi waktu belajar siswa didik dan asal ikut kebijakan departemen pendidikan. Praktik-praktik ini menghancurkan identitas siswa didik sekadar sebagai hewan yang menyusu tukang mengajar.
Seruan untuk reformasi pendidikan juga terarah kepada pendidik demi perlindungan siswa didik. Pendidikan sebagai proses humanisasiliberasi akan macet tanpa kehadiran pendidik sebagai intelektual transformatif. Keterlambatan, ketidakhadiran, dan kekosongan pendidik melecehkan etika profesi mereka. Orangtua siswa didik juga menyerukan akses pendidikan bagi anak-anak dari strata ekonomi bawah.
Giroux menawarkan kepada pihak-pihak yang terlibat aktif dalam dunia pendidikan untuk mengurai karut-marut pendidikan di Indonesia dari titik filsafat pendidikan. Ia memiliki impian pendidik sebagai intelektualitas transformatif. Komersialiasi pendidikan merusak subyek pendidikan sekadar sebagai obyek ekonomis. Ia mengubah proses pembelajaran sebagai pembentukan intelektualitas transformatif menjadi pembodohan deformatif. Ia juga mengaborsi lahirnya institusi pendidikan sebagai ruang publik demokratis. Karena itu benarlah kalau dikatakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam dunia pendidikan sepatutnya selalu merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikannya di tengah-tengah tindakan/aksi dalam dunia yang digelutinya dan melakukan tindakan/aksi sebagai buah refleksinya. Dengan singkat, dapat kita katakan hal ini sebagai pendidikan dalam praxis atau praxis dalam pendidikan.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh
sisten pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia — siap pakai”. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka siapa pun yang komitmen sebagai pendidik atau sebagai praktisi pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembalikan pendidikan pada posisi yang seharusnya. Dengan belajar dan terus belajar tanpa kenal umur, maka diharapkan kita dapat melaksanakan niat baik kita untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia yang sedang terpuruk ini. [Edi Sutarto]

0 Response to "Pendidikan, Proses Budaya Sepanjang Hayat"